Margonda yang
kini menjadi nama jalan protocol dan pusat bisnis di Kota Depok, tidak
diketahui persis asal muasalnya. Konon, nama Margonda itu berasal dari nama
seorang pahlawan yang bernama Margonda. Keluarga yang mengklaim sebagai anak
keturunan Margonda sendiri ( di Cipayung - Depok ) sampai sekarang belum dapat
memberikan informasi mengenai sepak terjang ataupun lokasi makam Margonda. Yang
jelas, nama Margonda kini sangat identik sekali dengan Kota Depok. Sebut saja
“Margonda”, maka pasti orang - orang akan mengasosiakannya dengan Kota Depok,
beserta segala hiruk pikuknya aktivitasnya yang semakin berkembang……….
Pernah berkunjung ke Depok, Jawa Barat? Memasuki kota di pinggiran selatan Jakarta
itu, sebuah jalan utama akan menyambut Anda. Jalan Margonda menjadi gerbang utama memasuki
kota yang dikenal dengan buah belimbingnya.
Hampir semua aktivitas perekonomian tumplek di jalan itu. Dari kantor pusat
pemerintahan, terminal bus, stasiun kereta api, rumah sakit, berbagai kampus
perguruan tinggi, sekolah, kantor Polres, perumahan, hotel, berbagai pusat
kuliner hingga mal-mal. Singkat kata, semua isi kota Depok ada di jalan ini. Tapi,
tahukah Anda siapa Margonda yang menjadi nama jalan tersebut?
Menelusuri sejarah Margonda berarti kembali ke masa-masa revolusi saat
peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang. Wenri
Wanhar, penulis buku 'Gedoran Depok:
Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945-1955' menyebut Margonda adalah
nama seorang pemuda yang belajar sebagai analis kimia dari Balai Penyelidikan
Kimia Bogor. Lembaga ini dulunya bernama Analysten Cursus. Didirikan sejak
permulaan perang dunia pertama oleh Indonesiche Chemische Vereniging, milik
Belanda.
Memasuki paruh pertama 1940-an, Margonda mengikuti pelatihan penerbang cadangan
di Luchtvaart Afdeeling, atau Departemen Penerbangan Belanda. Namun tidak
berlangsung lama, karena 5 Maret 1942 Belanda menyerah kalah, dan bumi
Nusantara beralih kekuasaannya ke Jepang. Margonda lantas bekerja untuk Jepang.
Saat Jepang takluk dengan bom atom Amerika di Nagasaki dan Hiroshima pada tahun
1945, Margonda ikut aktif dengan gerakan kepemudaan yang membentuk
laskar-laskar. Margonda bersama
tokoh-tokoh pemuda lokal di wilayah Bogor dan Depok mendirikan Angkatan Muda
Republik Indonesia (AMRI) yang bermarkas di Jalan Merdeka, Bogor. Sayangnya,
umur Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) di bawah pimpinan Margonda relatif
singkat. Mereka pecah dan anggotanya bergabung dengan BKR, Pesindo, KRISS dan kelompok
kecil sejenis lainnya.
Sementara itu, wilayah Depok sejak lama menjadi 'daerah istimewa'. Wilayah ini
dikuasai oleh tuan tanah asal Belanda yang bernama Cornelis Chastelein. Dia
merupakan rombongan awal orang Belanda yang datang pada masa awal kolonisasi
VOC di Jawa.
Sejarah juga menyebut, Depok sudah lebih dulu merdeka sejak 28 Juni 1714.
Mereka punya tatanan pemerintahan sendiri yakni Gemeente Bestuur Depok yang
bercorak republik. Pimpinannya seorang
presiden yang dipilih tiga tahun sekali melalui Pemilu. Chastelein mewariskan
seluruh tanahnya kepada 12 marga
budaknya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan memerdekakan mereka
dalam wasiat yang dibuatnya sebelum meninggal.
Meski bermuka pribumi dan berkulit coklat, 12 marga dan
keturunan mereka bergaya hidup seperti orang Eropa, buah didikan sang tuan.
Mereka inilah yang disebut sebagai 'Belanda
Depok'. Sehari-hari mereka
menggunakan bahasa Belanda.
Kembali ke masa revolusi, banyaknya kelompok kecil laskar dan para pejuang berakibat petaka bagi
para Belanda Depok itu. Pada 11 Oktober 1945, meletus peristiwa Gedoran Depok. Depok diserbu
para pejuang kemerdekaan. Para pejuang menilai orang Depok tidak mengakui
kemerdekaan Indonesia.
Depok pun dikuasai para pejuang. Kantor Gemeente Bestuur berubah fungsi menjadi
markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR) batalyon ujung tombak Jawa Barat pimpinan
Ibrahim Adjie.
Sayangnya, dalam peristiwa itu, jejak sejarah Margonda tidak tercatat. Yang
pasti, beberapa hari kemudian, pasukan NICA yang datang membonceng Sekutu
menyerbu Depok untuk membebaskan orang Depok yang ditawan TKR. Pejuang berhasil
dipukul mundur. Tawanan wanita dan anak-anak Depok dibebaskandan dibawa ke kamp
pengungsian di Kedunghalang,
Bogor.
Memasuki bulan November, para pejuang yang tercerai-berai kembali menjalin
koordinasi dan menyusun kekuatan. Mereka
berencana merebut kembali Depok dari tangan NICA. Mereka menyusun sebuah
serangan yang menggunakan sandi 'Serangan
Kilat'. Pasukan NICA kelabakan tapi Depok gagal direbut pejuang. Kedua pihak
mengalami korban yang banyak.
Saat peristiwa itulah, keberadaan Margonda kembali muncul. Di antara ratusan
pejuang yang gugur hari itu, terdapat Margonda,
pimpinan AMRI. Margonda gugur pada tanggal 16 November 1945, di daerah
bersungai di kawasan Pancoran Mas, Depok. Sungai yang bermuara di Kali Ciliwung
itu menjadi saksi gugurnya Margonda.
Nama Margonda tercatat di Museum Perjuangan Bogor bersama ratusan pejuamg yang
gugur. Semasa berjuang, Margonda berkawan dekat dengan Ibrahim Adjie dan TB
Muslihat. TB Muslihat senasib dengan Margonda. Dia gugur dalam pertempuran.
Pemerintah Bogor membangun patung TB Muslihat di Taman Topi, sekitar stasiun
Bogor. Sementara Ibrahim Adjie, berhasil selamat. Dia berkarir menjadi tentara
dengan jabatan akhir Pangdam Siliwangi.
"Seingat saya, nama Jalan Margonda sudah
ada sejak 1980-an"
Foto - foto terkait :