Dulu, Pondok Cina hanyalah hamparan perkebunan
dan semak-semak belantara yang bernama Kampung Bojong. Awalnya hanya sebagai
tempat transit pedagang-pedagang Tionghoa yang hendak berjualan di Depok. Lama
kelamaan menjadi pemukiman, yang kini padat sebagai akses utama Depok-Jakarta.
Kota Depok (dulunya kota administratif)
dikenal sebagai penyangga ibukota. Para penghuni yang mendiami wilayah Depok
sebagian besar berasal dari pindahan orang Jakarta. Tak heran kalau dulu muncul
pomeo singkatan Depok : Daerah Elit Pemukiman Orang Kota. Mereka banyak
mendiami perumahan nasional (Perumnas), membangun rumah ataupun membuat
pemukiman baru.
Sebagai daerah baru, Depok menarik minat
pedagang-pedagang Tionghoa untuk berjualan di sana. Namun Cornelis Chastelein
pernah membuat peraturan bahwa orang-orang Cina tidak boleh tinggal di kota
Depok. Mereka hanya boleh berdagang, tapi tidak boleh tinggal. Ini tentu
menyulitkan mereka. Mengingat saat itu perjalanan dari Depok ke Jakarta bisa
memakan waktu setengah hari, pedagang-pedagang tersebut membuat tempat transit
di luar wilayah Depok, yang bernama Kampung Bojong. Mereka berkumpul dan
mendirikan pondok-pondok sederhana di sekitar wilayah tersebut. Dari sini mulai
muncul nama Pondok Cina.
Menurut cerita H. Abdul Rojak, sesepuh
masyarakat sekitar Pondok Cina, daerah Pondok Cina dulunya bernama Kampung
Bojong. “Lama-lama daerah ini disebut Kampung Pondok Cina. Sebutan ini berawal
ketika orang-orang keturunan Tionghoa datang untuk berdagang ke pasar Depok.
Pedagang-pedagang itu datang menjelang matahari terbenam. Karena sampainya
malam hari, mereka istirahat dahulu dengan membuat pondok-pondok sederhana,”
ceritanya. Kebetulan, lanjut Rojak, di daerah tersebut ada seorang tuan tanah
keturunan Tionghoa. Akhirnya mereka semua di tampung dan dibiarkan mendirikan
pondok di sekitar tanah miliknya. Lalu menjelang subuh orang-orang keturunan
Tionghoa tersebut bersiap-siap untuk berangkat ke pasar Depok.”
Kampung Bojong berubah nama menjadi kampung
Pondok Cina pada tahun 1918. Masyarakat sekitar daerah tersebut selalu menyebut
kampung Bojong dengan sebutan Pondok Cina. Lama-kelamaan nama Kampung Bojong
hilang dan timbul sebutan Pondok Cina sampai sekarang. Masih menurut cerita,
Pondok Cina dulunya hanya berupa hutan karet dan sawah. Yang tinggal di daerah
tersebut hanya berjumlah lima kepala keluarga, itu pun semuanya orang keturunan
Tionghoa. Selain berdagang ada juga yang bekerja sebagai petani di sawah
sendiri. Sebagian lagi bekerja di ladang kebun karet milik tuan tanah
orang-orang Belanda. Semakin lama, beberapa kepala keluarga itu pindah ke
tempat lain. Tak diketahui pasti apa alasannya. Yang jelas, hanya sisa satu
orang keluarga di sana. Hal ini dikatakan oleh Ibu Sri, generasi kelima dari
keluarga yang sampai kini masih tinggal di Pondok Cina.
“Tinggal saya sendiri yang masih bertahan
disini,” kata ibu Sri lagi. Sekarang daerah Pondok Cina sudah semakin padat.
Ditambah lagi dengan berdirinya kampus UI Depok pada pertengahan 80-an, di
kawasan ini banyak berdiri rumah kost bagi mahasiswa. Toko-toko pun menjamur di
sepanjang jalan Margonda Raya yang melintasi daerah Pondok Cina ini. Bahkan
pada jam-jam berangkat atau pulang kerja, jalan Margonda terkesan semrawut.
Maklum, karena itu tadi, pegawai maupun karyawan yang tinggal di Depok mau tak
mau harus melintas di Pondok Cina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar